Syaikh Abdul Malik Ramadhani menerangkan beberapa poin penting mengenai terapi untuk mengobati fitnah (kerusakan dan kekacauan) yang melanda di tengah umat. Berikut ini kami sajikan ringkasan dari penjelasan beliau. Semoga bermanfaat.
Pertama; takwa kepada Allah. Sebagaimana nasihat Thalq bin Habib ketika muncul fitnah berupa pemberontakan di masanya. Bahkan nasihat takwa inilah yang diberikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya ketika banyak terjadi perselisihan di tengah-tengah mereka.
Kedua; ilmu, karena sumber fitnah diantaranya adalah karena syubhat/keraguan dan kerancuan pemahaman, dan hal ini akan bisa dilenyapkan dengan ilmu. Abud Darda’ mengatakan, “Tidak akan kamu menjadi orang yang bertakwa sehingga kamu menjadi orang yang berilmu.”
Ketiga; berdoa. Seorang mukmin hendaklah berdoa kepada Rabbnya untuk membimbing dirinya dalam menghadapi fitnah-fitnah yang ada. Demikianlah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para salafus shalih kepada kita.
Keempat; mendengar dan taat kepada ulil amri kaum muslimin serta setia dengan jama’ah/persatuan umat di atas kebenaran. Para ulama telah menegaskan wajibnya berpegang teguh dan setia dengan jama’ah kaum muslimin beserta imam/pemimpin mereka baik dalam kondisi fitnah ataupun dalam kondisi apa saja, dan diharamkan melakukan pemberontakan kepada mereka.
Kelima; berpegang teguh dengan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah para khulafa’ur rasyidin. Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Irbadh bin Sariyah yang masyhur.
Keenam; kembali kepada para ahli ilmu. Banyak kerusakan terjadi ketika manusia terlebih para pemuda dan pemula tidak mengembalikan urusan kepada ahlinya.
Ketujuh; menjauhi fitnah dan tidak berbuat macam-macam dalam situasi tersebut. Sebagaimana dikatakan para ulama bahwa hari-hari fitnah itu amat sedikit keberkahannya dan amat mudah menyulut gerakan/tindakan manusia. Awalnya terasa menggembirakan akan tetapi pada akhirnya akan berbuah pahit dan menyedihkan.
Kedelapan; meninggalkan peperangan. Tidak boleh ikut campur dalam perseteruan yang terjadi diantara sesama kaum muslimn yang pada akhirnya menumpahkan darah mereka. Bahkan terkadang dalam kondisi fitnah orang yang mati terbunuh lebih baik daripada si pembunuh.
Kesembilan; banyak menetap di rumah dan menghancurkan senjata. Hal ini dibutuhkan agar orang tidak tercebur dalam fitnah dan terlibat di dalamnya secara tidak sadar. Demikianlah sikap yang ditempuh oleh mayoritas para Sahabat ketika terjadi pertikaian antara Abdullah bin Zubair dan Abdul Malik bin Marwan dalam hal kekuasaan. Sikap yang sama pun telah dipilih oleh tokoh-tokoh ahli Badar saat terjadinya pembunuhan Khalifah Utsman.
Kesepuluh; meninggalkan penjualan senjata. Dalam kondisi fitnah/kekacauan keamanan di tengah kaum muslimin maka diharamkan melakukan jual-beli senjata. Hal ini merupakan cara Islam dalam membendung fitnah dari pintu-pintunya. Dari sini penting bagi kaum muslimin untuk menjaga harta mereka agar tidak disalurkan pada jalan-jalan yang menyimpang.
Kesebelas; menjaga lisan agar tidak ikut ‘nimbrung’ dalam perkara fitnah. Sampai-sampai dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, “Sesungguhnya fitnah itu hanyalah muncul dari lisan, bukan dengan tangan.” Diantara bentuk ucapan yang menimbulkan fitnah ini adalah dengan menyebut-nyebut kejelekan penguasa sehingga pada akhirnya menumpahkan darah mereka.
Keduabelas; meninggalkan perbuatan mencari-cari berita seputar fitnah. Media informasi memiliki pengaruh besar dalam menyulut dan mengobarkan fitnah. Apalagi jika media ini tidak dikendalikan oleh orang yang baik dan terpercaya. Seperti halnya berita-berita politik yang disiarkan oleh media-media kafir kemudian dijadikan rujukan oleh sebagian orang.
Inilah sikap yang dicontohkan oleh salafus shalih. Mutharrif bin Abdullah berkata, “Aku berdiam diri selama sembilan atau tujuh (tahun) saat terjadi fitnah/pemberontakan Ibnu Zubair dimana aku tidak menyampaikan berita apapun dan tidak mau mencari berita apa pun.”
Sulaiman bin Yasar menceritakan kisah seorang Sahabat bernama Abu Usaid. Sebelum terjadinya pembunuhan Utsman matanya mengalami kebutaan. Setelah kejadian terbunuhnya Utsman, beliau berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan mata untukku semasa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga dengan keduanya aku bisa melihat beliau. Ketika Allah mencabut nyawa nabi-Nya dan Allah berkehendak terjadinya fitnah, maka Allah pun menahan penglihatanku.”
Ketigabelas; bersikap lemah lembut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mengingatkan bahwa Allah mencintai sikap lemah lembut dalam segala urusan.
Keempatbelas; berhati-hati dan sabar, tidak mudah terbakar emosi.
Kelimabelas; bersikap tidak tergesa-gesa dan cermat dalam bertindak.
Keenambelas; hendaklah seorang lebih fokus untuk memperbaiki keadaan dirinya sendiri.
Ketujuhbelas; memfokuskan diri untuk beribadah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa beribadah di saat-saat fitnah seperti berhijrah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.